Rabu, 26 Desember 2012

Debu Natal [Kevin]

Natal 2012
Aku bermimpi aneh. Aku bangun dalam keadaan keringat bercucuran dan hati yang tak karuan. Aku ketakutan setengah mati. Aku bermimpi bersama Dinda sedang melihat bintang yang tersebar dilangit. Semua bintang itu seperti diamond yang bercahaya dan berkilauan. Aneh. Padahal aku menderita rabun senja tapi kenapa aku bisa melihat bintang itu dengan jelas. Semua tampak indah sampai akhirnya bintang itu berjatuhan menghujani aku dan Dinda. Aku dan Dinda berlari. Kemudian aku kehilangan dia.
Aku beranjak bangun dan segera mandi, menyisir rambut dan mengambil roti yang sudah disiapkan mama di meja makan. Aku segera pergi ke apartemen Dinda memastikan dia tidak apa-apa.
Aku lega melihat keadaannya yang baik-baik saja. Dengan lahap dia memakan nasi goreng dan minum segelas susu. Wajah ceria yang masih menyapaku pagi ini.
“Eh tumben, Vin kamu datang kesini pagi banget. Kenapa? Kangen ya?” Godanya yang kurespon dengan tersenyum sambil mengacak-acak kecil rambutnya.
“Yuk sarapan bareng.” Ajaknya. Aku hanya menggeleng dan menjawab aku sudah makan. Dinda melanjutkan ritual sarapannya yang tertunda gara-gara aku datang.
Jangan biarkan aku kehilangan dia. Tuhan, aku tetap ingin bersamanya. Batinku.
“Vin, temenin aku ya. Hari ini aja.” Pintanya. Agak aneh, tumben dia memintaku untuk menemaninya. Aku hanya mengangguk ragu. Kali ini aku membawa sepeda motor, bukan mobil. Aku dan Dinda akhirnya pergi ke Trans Studio Bandung. Aku dan Dinda bermain dari pagi hingga sore. Aku melihat wajah Dinda yang mulai bosan.
“Din, kenapa? Kok mukanya bosen gitu? Nggak suka kesini, ya?”
“Ah, enggak kok Vin. Ke pantai yuk?” Ajaknya dengan senyum yang tak biasa. Wajahnya terlihat sangat cantik. Senyumnya mampu membiusku, aku mengangguk dan menggandeng tangan Dinda. Dalam perjalanan Dinda tertawa lepas. Jangan biarkan aku kehilangan wajah ceria ini, Tuhan. Aku sangat menyayanginya.
Setibanya di pantai dia berlari ke arah pantai dengan bahagia. Mengingatkanku dengan sosok yang aku kenal. Kezia. Aku ingat Kezia sangat menyukai pantai. Semasa SMA dulu dia sering mengajakku kesini. Sekedar menghabiskan waktu bersama. Ah, yang kulihat sekarang Dinda, bukan Kezia. Aku berjalan santai ke arah Dinda. Dinda melepas sepatunya dan merasakan ombak kecil yang bermain dikakinya. Dia tersenyum. Aku dan Dinda banyak berfoto hari ini. Aku mendapatkan banyak potret senyum Dinda.
Yang aku tahu Dinda sangat suka melihat matahari terbenam. Inilah waktu senja yang dia nantikan. Aku duduk disampingnya. Dia bersandar dibahuku. Aku membelai rambutnya, menggenggam jemarinya. Aku tak ingin kehilangan dia.
Aku melihat jam tanganku, sudah pukul 7 malam. Aku melihat jalanan. Samar. Tidak memungkinkan aku menyetir pada malam hari. Tapi Dinda meyakinkan aku bahwa aku bisa, akhirnya aku mau. Dinda mengajakku melihat bintang di bukit yang dia tahu. Ini malam natal, walaupun aku sudah meninggalkan agama Kristen dan memeluk Islam, pasti Tuhan Yesus masih akan tetap menjagaku. Allah juga pasti akan melindungiku. Dalam perjalanan menuju bukit Dinda hanya terdiam. Aku melihat kaca spion tapi tak bisa melihat wajah Dinda dengan jelas. Akhirnya aku menoleh dan memperhatikannya.
“Kevin. Awaaaaaas !!!” Kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.
Aku terbangun karena bau obat yang menyengat. Aku melihat orang tua Dinda, Hanah dan keluargaku di sampingku. Dinda mana?
“Dinda mana? Kenapa hanya ada kalian?” Aku melihat sekeliling untuk mencari sosok Dinda. Mereka hanya terdiam. Pikiran-pikiran buruk mulai melayang di otakku. Kemudian mama memelukku dengan menangis. “Kamu yang tabah, ya, Nak.”. ah tidak mungkin, tidak mungkin. Ini pasti mimpi. Aku berteriak memanggil nama Dinda. Namun yang aku dapat hanya kalimat “sabar” dari orang-orang disekitarku. Aku tidak percaya dia pergi.
Aku melihat tukang becak yang waktu itu. Saat natal tahun kemarin aku memberinya pohon natal. Dia menghampiriku dan berbicara padaku.
“Dia perempuan yang baik. Dia sering datang ke rumah saya untuk sekedar mampir dan membelikan kami makan. Bahkan dia sangat akrab dengan tetangga-tetangga saya. Banyak yang kamu tak tahu tentang dirinya. Mungkin dari luar dia terlihat egois, namun dia sangat suka berbagi.” Jelasnya. Kemudian Hanah berjalan ke arahku dan memberiku kotak. Aku segera membukanya di dalamnya ada sweater berwarna biru laut dan sepucuk surat berwarna hijau. Warna favoritenya.

Dear Kevin,

Terlalu awal sebenernya aku ngasih ini buat kamu. Ulang tahunmu masih satu bulan lagi kan? Tapi gimana lagi, ya. Sweater ini sudah jadi. Kamu mau pergi ke Korea kan? Sweater ini memang nggak mahal, tapi ini aku buat sendiri. Khusus buat kamu. Niat banget lho, aku ngerjainnya. Di Korea kan dingin, Vin ^^
Aku berdoa biar kamu tambah dewasa, rajin sholat, ya. Kan mau jadi imam :). Jangan marahan ya. Aku selalu berdoa yang baik-baik aja buat kamu.
Semoga kamu dalam keadaan sehat. Sesibuk apapun kamu, jangan lupa sama yang namanya kesehatan. Aku berdoa biar kamu dalam keadaan bahagia. Tetep jadi Kevin yang lucu, dan karena sikap lucumu itu bikin hidup aku makin berwarna. ^__^
Jangan lupa tetep bersyukur sama takdir yang di kasih Tuhan. Hargai setiap detik sama orang-orang yang kamu sayang. Soalnya kamu nggak tau kapan dia diambil sama Tuhan.
You will be shinning star. Saranghae ^^
-Pricillia Adinda -

Minggu, 09 Desember 2012

Debu Natal [Dinda]

Natal 2011
“Kamu besok pagi bisa keluar? Temani aku mencari pohon natal untuk adikku.” Pinta Kevin kemarin malam yang segera aku respon dengan jawaban “Iya”. Aku terbangun dari tempat tidurku dan melihat jam yang berada diatas meja di samping tempat tidurku. Aku terbangun duluan dari jam weker yang sudah kupasang jam 6 pagi. Segera saja aku mencari HandPhone-ku dan melihat apa yang ada disana. Ada 3 SMS dan 7 BBM disana. Segera saja aku membalas itu satu-satu. Ah sudahlah. Keburu waktu subuhnya habis. Aku mengambil air wudlu lalu sholat subuh. Aku pergi ke dapur, memasak, dan menyiapkan sarapan. Setelah semua beres aku pergi mandi.
Saat ini aku tinggal di apartemen di daerah Bandung. Aku tinggal bersama adik perempuanku di apartemen sederhana untuk sementara selama aku kuliah disini. Orangtuaku tinggal di Surabaya. Sementara itu aku disini kuliah dan bekerja paruh waktu menjadi pelayan restoran tiap aku selesai kuliah. Ya meskipun dari Surabaya orangtuaku mengirimiku uang untuk biayaku disini, tetapi tetap saja itu tak cukup. Tapi aku tak mau meminta lebih kepada mereka yang sudah bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Seketika itu juga aku merindukan keluargaku di Surabaya. Apa kabar ya mereka? Sedang apa ya mereka? Apakah mereka juga merindukanku? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai bermunculan di otakku.
“Boo !! Hayo Kak Dinda ngapain?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Ternyata adik perempuanku sudah bangun dan sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya dengan menenteng tas ransel miliknya.
“Sarapan gini lho. Kamu nggak sholat subuh?” Tanyaku kemudian aku melanjutkan makanku.
“Enggak, Kak. Biasalah cewek.” Aku hanya menjawabnya dengan anggukan pertanda aku mengerti. Dia menarik kursi dan makan bersamaku. Hampir selama 10 menit aku dan Hanah tidak berbicara sama sekali. Kami sibuk dengan sarapan kami.
“Oh iya dek. Kan Kak Dinda hari ini nggak ada jadwal kuliah, Kak Dinda nanti mau keluar sama Kak Kevin. Kamu mau berangkat naik motor sendiri apa gimana?” Tanyaku memecahkan suasana.
“Tenang aja, Kak. Mulai hari ini aku dijemput sama Rian.” Dia menjawab dengan senyum kecil diwajahnya.
“Rian?” Aku tak mengerti.
“Duh Kak Dinda ini. Jangan parah-parah dong Kak. Loadingnya lama banget. Rian itu yang sering aku certain ke Kak Dinda. Dia juga pernah main kesini kok. Dia… Pacar baru aku. Hehehe”
“Ooooh anak basket itu ya? Kenal darimana?”
“Kak Dinda yang cantiiik. Aku kan anak cheerleader nah dia kan anak basket. Pastilah kami kenal.” Jawab adikku dengan tangan mengelus dada. Mungkin dia jengkel dengan kakaknya yang kalau diajak ngomong tidak pernah langsung mengerti. Aku hanya tertawa. Aku melihat jam tanganku. Sudah pukul 06.15.
“Dek, nggak berangkat? Udah jm 6 lewat lho.” Tanyaku dan Hanah melihat jam tangannya. Tanpa berbicara Hanah langsung mengambil HandPhone di sakunya dan memencet keypad SmartPhone itu. 5 menit kemudian suara sepeda motor Ninja membuat Hanah bangun dari sofa dan mengambil tas.
“Kak Dinda, aku berangkat.” Pamitnya. Aku berjalan ke beranda. Aku melihat Hanah naik motor Ninja merah itu dengan..ya, sepertinya dengan susah payah. Hanah melambaikan tangan ke arahku, Rian hanya tersenyum. Akupun membalas mereka dengan senyuman. Kemudian mereka pergi. Kebetulan saja ruang apertemenku berada dilantai ketiga.
Aku masuk ke dalam apartemen dan membereskan sisa sarapan kami tadi, aku mencucinya. Aku lapar lagi. Ah tak mungkin jika aku makan nasi lagi. Akhirnya aku membuat sereal dengan susu. Saat aku sedang asik makan sereal dimeja makan ada yang menutup mataku. Aku meletakkan sendok dan meraih tangan yang menutup wajahku. Hanah? Tak mungkin. Dia sedang sekolah. Kezia? Tak mungkin temanku yang satu itu iseng, dia ada jadwal kuliah dan pasti dia sudah berangkat. Pasti Kevin ! Ya, aku yakin. “Kevin, nggak lucu.” Kemudian dia melepaskan tangannya dan menarik kursi disampingku.
“Tau aja kamu, Din.” Katanya. Aku hanya tersenyum. “Mau?” Aku menawarkan sereal yang sedang aku makan. Dia mengangguk dan membuka mulutnya. Sebuah kode dia ingin aku menyuapi dia. “Manja.” Kataku dan dia hanya tersenyum dengan mengelus kepalaku.
Kevin adalah tunanganku. Dia dulu beragama Kristen tapi sekarang dia menjadi mualaf. Tetapi keluarganya tetap beragama Kristen. Kevin. Ya, seorang pria yang bertanggung jawab. Dia adalah manager di satu perusahaan ternama di wilayah Bandung. Dia memiliki postur tubuh tinggi berisi dan memiliki hati yang baik. Dia sosok yang ceria. Rencananya setelah aku menyelesaikan S3ku, kami akan menikah. Tinggal 1,2 tahun lagi.
“Yuk. Berangkat.” Ajaknya setelah dia menghabiskan serealku. Aku mengangguk dan mengambil jaket dan tas di kamarku. Ketika aku kembali, meja makan sudah bersih. Padahal  rencana aku akan membersihkannya setelah ini. Aku mencari sosok Kevin. Ternyata dia sedang asik memakan coklat yang ada di kulkasku. Aku menghampirinya dan memukul kepalanya pelan.
“Ah ! Sakit Din.” Dia mengelus-ngelus kepalanya sendiri. Aku tertawa kecil. “Yuk, katanya berangkat. Udah jam 9 nih.” Tanpa menjawab dia meraih tanganku dan menggandengku keluar apartemen.
Ternyata dia membawa mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku. Aku bak ratu. Hahaha. Diperjalanan kami berbincang-bincang. Hal yang kami bahas kali ini adalah bisnis Kevin di Bandung. Setelah saju jam perjalanan sampai juga di toko pohon natal. Kami berkeliling dan melihat-lihat pohon natal dan memilih satu pohon natal yang kecil namun cukup indah. Kemudian kami perjalanan ke rumah Kevin. Ah, cukup lama. Macet ! Kami memutuskan untuk lewat jalan lain dan berhenti di warung pinggir jalan sekedar untuk membeli es kelapa muda. Kami menikmatinya. Segar untuk cuaca seterik ini. Aku memperhatikan tukang becak yang sedari tadi memperhatikan mobil Kevin. Sepertinya dia kagum. Entah dengan mobilnya atau pohon yang ada di dalam mobil.
Kevin beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri tukang becak itu. Dari warung aku memperhatikan keduanya. Kevin membuka pintu mobil dan memberikan pohon natal itu kepada tukang becak itu. Tunggu ! Waktuku sudah banyak terbuang untuk membeli pohon itu dan Kevin memberikannya begitu saja? Tukang becak itu pergi dengan pohon natal yang kami beli tadi. Kevin berjalan kearah warung dengan tersenyum.
“Apa yang kau lakukan? Waktu kita banyak terbuang untuk membeli pohon natal itu. Dan kamu memberikannya?” Gerutuku. Dia mengelus kepalaku dan menyandarkannya di bahunya.
“Keindahan natal adalah saat kita berbagi bahagia. Mau berkorban dan tersenyum. Walaupun sekedar pohon natal, dia tidak mampu membelinya selama puluhan tahun. Itu artinya dia tidak pernah memiliki pohon natal saat malam natal. Aku kasihan padanya. Akhirnya aku memberikan pohon natal itu. Toh kita bisa beli lagi untuk adikku. Sama seperti Islam kan? Bukankah Islam mengajari kita untuk saling berbagi?” Jelasnya panjang lebar. Aku hanya terdiam. Imam yang baik.
Aku penasaran. Setelah kami menemukan mushola dan sholat disana, aku dan Kevin mencari tukang becak yang tadi.
“Tenang saja, aku tahu nama dan daerah rumahnya. Tadi kami sempat berbincang-bincang.” Kata Kevin meyakinkanku. Aku dan dia menmbeli pohon natal yang baru dan segera memberikannya kepada adik Kevin.
Tepat pukul 5 sore. Setelah 15 menit berputar akhirnya kami menemukan tukang becak itu dengan wajah berbinar mengkayuh becaknya kearah perumahan terpencil dan tersudut disisi kota Bandung. Kami hanya memperhatikannya dari mobil. Seorang ibu sedang menggendong bayinya dan 2 anak perempuan yang berlari dan memeluk tukang becak itu. Dengan riangnya tukang becak itu membawa pohon natal itu ke dalam rumahnya. Dengan tawa riangnya keluarga itu merayakan natalnya dengan gembira.
Malam natal yang indah. Tiba-tiba Kevin berbicara memecahkan suasana hening diantara kami. “Aku teringat satu ayat AlKitab yang pernah aku baca saat aku masih memeluk agama Kriten. Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang, dari kitab Amsal 17:22. Dia sangat bersemangat menjalani hidup. Dia tidak pernah menyerah dan mengeluh. Natalnya kali ini pasti penuh arti. Semoga Tuhan memberkati” Dia tersenyum.