Senin, 27 Oktober 2014

Raito Akarui [Friend Zone]




Aku memanggilnya Raito. Pria baik pindahan dari kota seberang. Raito Akarui. Ya, aku tak tau seperti apa dirinya yang sebenarnya. Hanya saja aku sudah mengaguminya dari pertama kami berbicara. Dia adalah pria misterius yang pendiam. Dia selalu memakai headshet yang senantiasa terpasang di telinganya. Dia adalah pria yang berpakaian asal-asalan tapi tetap rapi dan enak dipandang.
Ketika dia tertawa, matanya menyipit. Dan itu lucu sekali :3. Dia adalah pria yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan ideal. Dia tampak ramah walaupun dia terkesan cuek dan pendiam. Dia memiliki rambut yang hitam dan lurus yang dipotong rapi dengan ciri khasnya. Dia pria yang sempurna, namun sayang tak banyak yang tahu betapa istimewanya dia.
Dia tak nampak menonjol karena sifatnya yang pendiam dan dia selalu duduk di bangku belakang. Diam-diam aku suka memperhatikan dia. Entah. Dia mengingatkanku akan seseorang. Sampai saat ini aku hanya bisa melihatnya dari cermin yang sengaja aku arahkan kepadanya hanya untuk sekedar melihat dirinya. Walaupun aku tau dia selalu memainkan hpnya. Dan jelas aku tau dia pasti mengirimkan pesan untuk perempuan yang sejak dulu telah menjadi “seseorang” baginya.
Itu sedikit membuatku terluka. Tapi aku bukan siapa-siapa untuknya. Baginya aku hanya teman yang memiliki hobi sama. Memang aku tak ada spesialnya baginya.
Namun aku cukup senang ketika aku membuka hp disana ada namanya yang ada di inboxku. Aku cukup senang. Meskipun itu hanya sekedar ‘send all’ (broadcast gitu~~). Aku cukup senang beberapa kali aku berbicara dengan dia dan hanya kami berdua yang mengerti topik pembicaraan itu. Aku cukup senang dengan zona seperti ini.
Tapi setelah selama ini aku baru menyadari sesuatu. Dia tak pernah menyebut namaku. Dia tidak pernah memanggil namaku. Dia hanya berkata “eh” jika dia ingin berbicara padaku. Dia hanya sekedar berkata “oi” ketika ingin memulai pembicaraan denganku.
Aku baru menyadarinya. Dan akupun tak pernah memanggil namanya. Bodoh.
Bahkan aku pernah menemani Raito chat sampai dia tertidur. Untuk pertama kalinya dia mengucapkan “selamat malam” padaku. Walaupun itu sepele, tapi aku cukup senang.
Dia adalah pria yang wangi. Dia adalah pemain basket. Dia adalah seseorang yang telah memiliki “seseorang”. Sepertinya dia tipikal orang yang setia. Dia sama sekali tak tergoda walaupun ada wanita yang memperhatikannya disini. Yang jelas wanita itu bukan aku. Untuk berbicara dengannya saja aku gugup. Sampai saat ini aku masih tidak bisa bertatapan dengan dia.
Dia pria yang cuek dan apa adanya. Dia pria yang tak banyak menuntut. Jelas sekali. Dia adalah pria yang baik. Sungguh “seseorang” yang berhasil memikat hatinya adalah “seseorang” yang beruntung.
Aku biasa saja. Kumaklumi jika dia telah memiliki “sesorang” disana. Aku hanya sedikit merasa kecewa. Ya, sedikit.
Sampai suatu hari aku merasa aneh dengan temanku. Dia tampak ingin selalu dekat dengan Raito. Dia tampak ingin jauh lebih mengenal dia. Aku bisa apa. Dia temanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui betapa dekat dia dengan Raito. Dengan semangat dia menunjukkan chatnya dengan Raito. Dan mereka tampak akrab. Mereka sangat terbuka satu sama lain. Mereka tampak jauh lebih akrab ketimbang aku dengan Raito. Mereka juga pernah jalan bersama bahkan foto bersama. Mereka tampak dekat. Sangat dekat.
Aku hanya ingin tahu sejauh apa mereka sudah saling kenal. Jauh di dalam hatiku aku kecewa. Padahal aku dulu yang mencintai Raito. Tapi Raito hanya melihatku sebagai teman biasa. Hanya sebagai teman yang memiliki hobi sama.
Aku iseng membuka semua sosial medianya. Dan jelas sekali dia telah memiliki “seseorang” disana. Dia tampak mencintai “seseorang” itu. Aku tahu persis siapa nama “seseorang” itu. Hancur sudah...
Temanku itu juga tahu bahwa Raito telah memiliki “seseorang”, namun dia bersikap biasa. Bahkan dia tahu bahwa di dalam dompet Raito tersimpan foto dari “seseorang” itu. Temanku nampak biasa saja. Tapi aku tahu bagaimana sakitnya dia menahan rasa yang tak enak itu.
Wajar saja, temanku itu memiliki sifat yang ceria dan friendly. Tak sepertiku yang diam dan tak mau berbicara jika tidak diajak bicara.
Aku menyimpan perasaan ini seorang diri. Biarkan saja andaikan akhirnya perasaan ini hilang, aku bersyukur pernah memiliki rasa yang seperti ini. Mungkin ini hanya sekedar zona nyaman. Tapi aku cemburu ketika melihat Raito dengan perempuan lain. Sampai saat ini aku masih menyimpan rasa yang menggebu dan ingin tahu ini. Aku hanya bisa menyimpannya jauh dalam hatiku. Karena aku tahu temanku sepertinya juga mencintai Raito. Lagipula Raito telah memiliki “seseorang” yang sangat dia cintai. Tak mungkin jika aku terlalu terbuka soal perasaanku. Kami hanya teman biasa. Ya, teman..


Hikari.