read :
Perempuan berumur 18 tahun yang biasa
saja. Aku seorang mahasiswi dari universitas yang letaknya tak jauh dari
rumahku. Jarak dari rumahku dengan kampus sekitar 20 menit jika menaiki motor.
Dengan tekad bulat aku ingin lulus secepatnya dengan nilai yang baik dan segera
bisa bekerja. Jika untuk lulus memerlukan waktu 4 tahun, kalau bisa aku ingin
lulus dalam jangka waktu 3 tahun. Namun sepertinya di universitas ini tidak
memperbolehkan hal semacam itu.
Awalnya aku memasuki jurusan ini sangat
membosankan. Aku sama sekali tidak memiliki teman dan tidak tertarik untuk
memulai pembicaraan. Wajar saja, aku gadis yang pendiam. Bahkan terkesan jutek
dan sinis. Di mata mereka mungkin aku tidak menarik dan membosankan.
Aku memasuki kelas dan memilih bangku
tengah yang hampir belakang dekat jendela. Posisi ini sangat nyaman. Ditambah
lagi posisi ini bisa menghilangkan kejenuhan saat di kelas. Melihat langit, dan
melihat pepohonan ditiup angin, itu bisa menjadi penyembuh dikala jenuh dengan
dosen yang menjelaskan dengan cara monoton. Dari sini aku bisa melihat bawah
dengan jelas. Melihat jurusan lain bahkan kelas lain pada saat jam olah raga.
Aku menyukai pria yang pandai di bidang olahraga. Karena aku lemah dibidang
olahraga. Harapannya jika aku mengenal sosok pria baik yang pandai olahraga,
dia mau mengajariku yang lemah dibidang olahraga ini.
Terutama basket. Aku suka semua hal
tentang basket. 2d maupun nyata. Aku suka dengan olahraga itu. Bahkan aku betah
melihat pertandingan basket, aku suka fansgirling jika bertemu pria pemain
basket. Entah apa yang membuatku tergila-gila dengan basket. Padahal aku adalah
gadis yang bodoh dalam bidang olahraga. Entah, pemain basket terlihat begitu
energik dan rupawan. Enak dilihat, serta tidak membosankan.
Di kelasku ada, ya, satu pemain basket
yang kukenal. Namanya Len. Dia duduk persis dibelakangku. Dia adalah pria yang
wangi. Dia memiliki hati yang baik. Sisi humorisnya bisa dibilang rendah, namun
dia tetap adalah seorang teman yang baik. Dia pria bertubuh tinggi. Mungkin sekitar
175cm. Sedangkan aku hanya 150cm-an. Dia memiliki rambut yang lurus. Dengan potongan
rambut yang menjadi ciri khasnya. Jika kebanyakan pria memilih memiliki
potongan rambut poni lempar, dia memilih memiliki jambul. Pipinya tembem,dan
itu sangat menggemaskan. Yang aku tau
dia jarang tersenyum. Dia pria pindahan dari kota yang tak jauh dari
sini. Dia menarik, karena dia misterius.
Aku suka tatapan matanya yang dingin. Itu
membuatnya lebih terlihat keren bagiku. Selain pemain basket, dia adalah
seorang gamer yang pro. Dia pandai menggambar. Dan dia juga seorang otaku yang
bermimpi bisa menjadi harem(?).
Dia menyukai coklat, cerita horror, dan
aku tidak seberapa tahu tentang dirinya. Dia adalah pria yang pendiam. Dia jarang,
bahkan tidak pernah bercerita tentang dirinya. Dia sepertinya tipikal yang
menyimpan masalahnya sendiri. Padahal aku ingin sekali bisa menjadi sahabat
baginya. Namun baginya aku hanya seorang anak kecil. Mungkin dia hanya menganggapku
sebagai adik. Terbukti dari caranya memperlakukan aku. Dia sering mengacak-acak
manis kepalaku. Dia sering memberi pocky, kesukaanku.
Aku pernah ingin membalas kebaikannya
dengan mebelikan dia sesuatu. Namun dia selalu menolak. Dia sepertinya tidak
suka barang jika itu dari pemberianku.
Bisa dibilang kami sangat akrab. Sangat akrab.
Namun aku tidak bisa menjelaskan zona apa yang sedang kualami saat ini. Friendzone?
Kakak-adik zone? Atau hanya sekedar zona nyaman?
Dia cuek. Aku ingin tau bagaimana
perasaannya kepadaku. Perasaan sesungguhnya yang dia rasakan. Menganggapku sebagai
apa. Sebatas teman atau lebih. Hanya itu yang ingin aku tau.
Semakin kesini aku tak betah menunggu. Kau
tau, Len?
Aku selalu menunggu sampai akhirnya kau
mengatakannya padaku.
Aku hanya butuh kepastian saja. Zona ini
membuatku bingung sendiri soal perasaanku. Ini sekedar perasaan suka atau perasaan
sayang.
Aku akan bertahan sampai akhirnya ada
kepastian. Bertahan memiliki perasaan ini hingga kau datang padaku atau bahkan
kau pergi dan memilih wanita lain. Jika akhirnya kau pergi dengan yang lain,
sudah jelas jika perasaanku ini sekedar perasaan cinta yang bertepuk sebelah
tangan.
Rin.