Aku memanggilnya Raito. Pria baik pindahan dari kota seberang. Raito Akarui.
Ya, aku tak tau seperti apa dirinya yang sebenarnya. Hanya saja aku sudah
mengaguminya dari pertama kami berbicara. Dia adalah pria misterius yang
pendiam. Dia selalu memakai headshet yang senantiasa terpasang di telinganya.
Dia adalah pria yang berpakaian asal-asalan tapi tetap rapi dan enak dipandang.
Ketika dia tertawa, matanya menyipit. Dan itu lucu sekali :3. Dia adalah
pria yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan ideal. Dia tampak ramah
walaupun dia terkesan cuek dan pendiam. Dia memiliki rambut yang hitam dan
lurus yang dipotong rapi dengan ciri khasnya. Dia pria yang sempurna, namun
sayang tak banyak yang tahu betapa istimewanya dia.
Dia tak nampak menonjol karena sifatnya yang pendiam dan dia selalu duduk
di bangku belakang. Diam-diam aku suka memperhatikan dia. Entah. Dia
mengingatkanku akan seseorang. Sampai saat ini aku hanya bisa melihatnya dari
cermin yang sengaja aku arahkan kepadanya hanya untuk sekedar melihat dirinya.
Walaupun aku tau dia selalu memainkan hpnya. Dan jelas aku tau dia pasti
mengirimkan pesan untuk perempuan yang sejak dulu telah menjadi “seseorang”
baginya.
Itu sedikit membuatku terluka. Tapi aku bukan siapa-siapa untuknya. Baginya
aku hanya teman yang memiliki hobi sama. Memang aku tak ada spesialnya baginya.
Namun aku cukup senang ketika aku membuka hp disana ada namanya yang ada di
inboxku. Aku cukup senang. Meskipun itu hanya sekedar ‘send all’ (broadcast
gitu~~). Aku cukup senang beberapa kali aku berbicara dengan dia dan hanya kami
berdua yang mengerti topik pembicaraan itu. Aku cukup senang dengan zona
seperti ini.
Tapi setelah selama ini aku baru menyadari sesuatu. Dia tak pernah menyebut
namaku. Dia tidak pernah memanggil namaku. Dia hanya berkata “eh” jika dia
ingin berbicara padaku. Dia hanya sekedar berkata “oi” ketika ingin memulai
pembicaraan denganku.
Aku baru menyadarinya. Dan akupun tak pernah memanggil namanya. Bodoh.
Bahkan aku pernah menemani Raito chat sampai dia tertidur. Untuk pertama
kalinya dia mengucapkan “selamat malam” padaku. Walaupun itu sepele, tapi aku
cukup senang.
Dia adalah pria yang wangi. Dia adalah pemain basket. Dia adalah seseorang
yang telah memiliki “seseorang”. Sepertinya dia tipikal orang yang setia. Dia
sama sekali tak tergoda walaupun ada wanita yang memperhatikannya disini. Yang
jelas wanita itu bukan aku. Untuk berbicara dengannya saja aku gugup. Sampai
saat ini aku masih tidak bisa bertatapan dengan dia.
Dia pria yang cuek dan apa adanya. Dia pria yang tak banyak menuntut. Jelas
sekali. Dia adalah pria yang baik. Sungguh “seseorang” yang berhasil memikat
hatinya adalah “seseorang” yang beruntung.
Aku biasa saja. Kumaklumi jika dia telah memiliki “sesorang” disana. Aku
hanya sedikit merasa kecewa. Ya, sedikit.
Sampai suatu hari aku merasa aneh dengan temanku. Dia tampak ingin selalu
dekat dengan Raito. Dia tampak ingin jauh lebih mengenal dia. Aku bisa apa. Dia
temanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui betapa dekat dia dengan Raito. Dengan semangat
dia menunjukkan chatnya dengan Raito. Dan mereka tampak akrab. Mereka sangat
terbuka satu sama lain. Mereka tampak jauh lebih akrab ketimbang aku dengan
Raito. Mereka juga pernah jalan bersama bahkan foto bersama. Mereka tampak
dekat. Sangat dekat.
Aku hanya ingin tahu sejauh apa mereka sudah saling kenal. Jauh di dalam
hatiku aku kecewa. Padahal aku dulu yang mencintai Raito. Tapi Raito hanya
melihatku sebagai teman biasa. Hanya sebagai teman yang memiliki hobi sama.
Aku iseng membuka semua sosial medianya. Dan jelas sekali dia telah
memiliki “seseorang” disana. Dia tampak mencintai “seseorang” itu. Aku tahu
persis siapa nama “seseorang” itu. Hancur sudah...
Temanku itu juga tahu bahwa Raito telah memiliki “seseorang”, namun dia
bersikap biasa. Bahkan dia tahu bahwa di dalam dompet Raito tersimpan foto dari
“seseorang” itu. Temanku nampak biasa saja. Tapi aku tahu bagaimana sakitnya
dia menahan rasa yang tak enak itu.
Wajar saja, temanku itu memiliki sifat yang ceria dan friendly. Tak sepertiku
yang diam dan tak mau berbicara jika tidak diajak bicara.
Aku menyimpan perasaan ini seorang diri. Biarkan saja andaikan akhirnya perasaan
ini hilang, aku bersyukur pernah memiliki rasa yang seperti ini. Mungkin ini
hanya sekedar zona nyaman. Tapi aku cemburu ketika melihat Raito dengan
perempuan lain. Sampai saat ini aku masih menyimpan rasa yang menggebu dan
ingin tahu ini. Aku hanya bisa menyimpannya jauh dalam hatiku. Karena aku tahu
temanku sepertinya juga mencintai Raito. Lagipula Raito telah memiliki “seseorang”
yang sangat dia cintai. Tak mungkin jika aku terlalu terbuka soal perasaanku. Kami
hanya teman biasa. Ya, teman..
Hikari.