Essay Sistem Pendidikan di
Indonesia
“Sekolah yang bener. Biar nanti jadi
orang”
“Buat apa sekolah, toh nantinya besar
ilmunya tidak dipakai semua”
Tentu tak jarang yang berkata seperti
itu. Memang, jika dilogika semua materi pelajaran yang di dapatkan di sekolah
tidak semua diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan itu penting. Bahkan
pemerintah tidak main-main soal pendidikan di Indonesia. Pemerintah sudah
berupaya agar setiap warganya bisa mendapatkan pendidikan. Terbukti dari
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. APBN yang cukup besar untuk
pendidikan dan program-program guna menunjang peningkatan kualitas mutu
pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya ada beberapa kebijakan yang
menurut saya kurang ‘masuk’ dalam cita-cita pendidikan.
Misalnya sistem pendidikan yang
menjadikan siswa menjadi ‘robot’.
Kebijakan pemerintah yang memaksa siswa
menjadi ‘generasi UN’.
Sistem pendidikan yang dianut Indonesia
meski sudah sering berganti kurikulum tetap saja membebankan siswa. Pada saat
sekolah siswa hanya sekedar datang, duduk, mendengarkan guru, mengerjakan soal,
istirahat, mendengarkan guru, mengerjakan soal, dan pulang. Begitu seterusnya
dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Bahkan menurut saya pada saat
kuliah juga seperti itu.
Tidak peduli seberapa penuh dan seberapa
bosan siswa dalam kelas, guru tetap memaksakan masuknya meteri dalam otak. Guru
hanya sekedar menyampaikan materi sesuai dengan tuntutan kompetensi dan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai. Guru akan senang jika siswanya diam dan
memperhatikan lalu mendapat nilai sempurna dalam ujian. Guru dinilai berhasil
apabila siswanya mendapat nilai bagus dan bisa melanjutkan ke sekolah favorit.
Maka tak jarang guru yang akhirnya ‘pokoknya
menjelaskan’ dan tidak memperhatikan keadaan siswanya. Padahal menurut saya
apabila guru bisa mengambil hati dan membuat siswa nyaman akan kelasnya, maka
siswa akan merasa senang dalam menerima materi dan tidak merasa terbebani. Wajar
saja jika perhatian guru kepada siswa kurang, karena di dalam satu kelas yang
diisi 40 siswa dengan 1 guru. Bayangkan. Guru harus memberi perhatian kepada 40
kepala dengan kebutuhan berbeda. Seharusnya dalam kelas diisi siswa dengan
kira-kira guru bisa memahami setiap siswanya. Yang penting kualitasnya, bukan
kuantitasnya. Guru akan lebih paham akan keadaan setiap siswanya dan siswa akan
merasa diperhatikan. Guru tidak lagi hanya mengenal siswa yang pintar dan nakal
saja. Namun guru akan mengenal setiap siswanya. Guru yang dekat dengan siswa
akan membuat siswa nyaman. Apabila siswa sudah merasa nyaman dengan gurunya,
maka siswa akan mulai menerima materi yang disampaikan dengan baik.
Kemudian kebijakan pemerintah tentang
ujian nasional. Bayangkan saja, sekolah bertahun-tahun hanya ditentukan oleh 3
hari dan beberapa mata pelajaran saja. Lalu untuk apa sekolah jika penentuannya
hanya 3 hari? Dengan standar yang disamaratakan. Lalu bagaimana nasib siswa
yang bersekolah di pedalaman? Menurut saya malah UN membuat siswa terbebani dan
stress berkepanjangan. Yang pada akhirnya siswa berfikir ‘pokoknya lulus’ tidak
peduli bagaimana prosesnya yang penting hasilnya. Benar?
Akhirnya kembali lagi pada proses
pembelajaran dalam kelas. Sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi
pada nilai, nilai, dan akhirnya lulus tidaknya ditentukan oleh nilai Ujian Nasional
juga. Siswa Indonesia akhirnya berorientasi pada akhirnya saja karena proses dianggap
tidak penting. Toh untuk apa belajar kesenian, tidak di-UN-kan. Padahal ada
beberapa siswa yang memang tidak mahir dalam hal perhitungan namun pandai dalam
hal musik. Ada siswa yang pandai menggambar, namun bakatnya tidak diasah karena
menggambar tidak ada UN-nya. Mereka hanya fokus pada materi-materi yang
di-UN-kan saja.
Sekali lagi, setiap individu diciptakan
dengan bakat yang berbeda-beda. Jika generasi UN ini terusberjalan dan
membudaya maka tidak akan ada lagi musisi-musisi hebat yang lahir, tidak ada
seniman-seniman dan atlet-atlet yang lahir. Indonesia hanya mementingkan dan
menganggap spesial siswa dengan kemampuan akademis. Siswa yang tidak pandai
dibidang akademis dianggap bodoh.
Jika guru menjelaskan dan guru menemukan
siswa yang menggambar dibuku catatannya dianggap main-main, padahal dia
berbakat dibindang menggambar. Tipe belajarnya tipe yang mudah mengingat
apabila dengan gambar. Guru selalu berkata “nggambar terus di kelas. Besar
besok mau jadi apa?”, memangnya menggambar itu sebuah aib? Apa menggambar itu tidak
boleh? Padahal itu merupakan sebuah bakat.
Generasi UN terus ada karena kebijakan
pemerintah memang seperti itu. Menciptakan generasi robot dan generasi UN. Memendam
dan mengubur dalam-dalam bakat non-akademis siswa dan memaksa siswa untuk
pandai dalam bidang akademis. Miris.
Sebenarnya yang memegang kendali penuh
dalam kelas adalah guru itu sendiri. Guru yang baik akan melahirkan siswa yang
baik pula. Bukan siswa yang dicetak oleh guru, namun guru memberikan fasilitas
atas minat dan bakat setiap siswa. Jadi siswa tetap berkembang dan tumbuh
sesuai dengan bakatnya. Guru dengan perhatian dan pengetahuan yang berkualitas
akan mampu membimbing siswanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Hilangkan
kesan horor dan menakutan, ubah jadi pribadi yang hangat dan menyenangkan namun
tetap berwibawa. Selain siswa akan merasa senang, nantinya siswa akan merasa
belajar itu menyenangkan. Jadi guru yang dirindukan kedatangannya dan
dinantikan pemberian materinya.
”Didik dan
persiapkanlah anak-anakmu, sesuai zamannya, karena mereka diciptakan untuk
hidup pada masa yang berbeda dengan masamu” (Ali bin Abi Thalib )