Kamis, 26 April 2018

Essay: #SaveGenerasiUN

Essay Sistem Pendidikan di Indonesia

“Sekolah yang bener. Biar nanti jadi orang”
“Buat apa sekolah, toh nantinya besar ilmunya tidak dipakai semua”
Tentu tak jarang yang berkata seperti itu. Memang, jika dilogika semua materi pelajaran yang di dapatkan di sekolah tidak semua diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan itu penting. Bahkan pemerintah tidak main-main soal pendidikan di Indonesia. Pemerintah sudah berupaya agar setiap warganya bisa mendapatkan pendidikan. Terbukti dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. APBN yang cukup besar untuk pendidikan dan program-program guna menunjang peningkatan kualitas mutu pendidikan di Indonesia. Namun pada kenyataannya ada beberapa kebijakan yang menurut saya kurang ‘masuk’ dalam cita-cita pendidikan.
Misalnya sistem pendidikan yang menjadikan siswa menjadi ‘robot’.
Kebijakan pemerintah yang memaksa siswa menjadi ‘generasi UN’.
Sistem pendidikan yang dianut Indonesia meski sudah sering berganti kurikulum tetap saja membebankan siswa. Pada saat sekolah siswa hanya sekedar datang, duduk, mendengarkan guru, mengerjakan soal, istirahat, mendengarkan guru, mengerjakan soal, dan pulang. Begitu seterusnya dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Bahkan menurut saya pada saat kuliah juga seperti itu.
Tidak peduli seberapa penuh dan seberapa bosan siswa dalam kelas, guru tetap memaksakan masuknya meteri dalam otak. Guru hanya sekedar menyampaikan materi sesuai dengan tuntutan kompetensi dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Guru akan senang jika siswanya diam dan memperhatikan lalu mendapat nilai sempurna dalam ujian. Guru dinilai berhasil apabila siswanya mendapat nilai bagus dan bisa melanjutkan ke sekolah favorit.
Maka tak jarang guru yang akhirnya ‘pokoknya menjelaskan’ dan tidak memperhatikan keadaan siswanya. Padahal menurut saya apabila guru bisa mengambil hati dan membuat siswa nyaman akan kelasnya, maka siswa akan merasa senang dalam menerima materi dan tidak merasa terbebani. Wajar saja jika perhatian guru kepada siswa kurang, karena di dalam satu kelas yang diisi 40 siswa dengan 1 guru. Bayangkan. Guru harus memberi perhatian kepada 40 kepala dengan kebutuhan berbeda. Seharusnya dalam kelas diisi siswa dengan kira-kira guru bisa memahami setiap siswanya. Yang penting kualitasnya, bukan kuantitasnya. Guru akan lebih paham akan keadaan setiap siswanya dan siswa akan merasa diperhatikan. Guru tidak lagi hanya mengenal siswa yang pintar dan nakal saja. Namun guru akan mengenal setiap siswanya. Guru yang dekat dengan siswa akan membuat siswa nyaman. Apabila siswa sudah merasa nyaman dengan gurunya, maka siswa akan mulai menerima materi yang disampaikan dengan baik.
Kemudian kebijakan pemerintah tentang ujian nasional. Bayangkan saja, sekolah bertahun-tahun hanya ditentukan oleh 3 hari dan beberapa mata pelajaran saja. Lalu untuk apa sekolah jika penentuannya hanya 3 hari? Dengan standar yang disamaratakan. Lalu bagaimana nasib siswa yang bersekolah di pedalaman? Menurut saya malah UN membuat siswa terbebani dan stress berkepanjangan. Yang pada akhirnya siswa berfikir ‘pokoknya lulus’ tidak peduli bagaimana prosesnya yang penting hasilnya. Benar?
Akhirnya kembali lagi pada proses pembelajaran dalam kelas. Sistem pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada nilai, nilai, dan akhirnya lulus tidaknya ditentukan oleh nilai Ujian Nasional juga. Siswa Indonesia akhirnya berorientasi pada akhirnya saja karena proses dianggap tidak penting. Toh untuk apa belajar kesenian, tidak di-UN-kan. Padahal ada beberapa siswa yang memang tidak mahir dalam hal perhitungan namun pandai dalam hal musik. Ada siswa yang pandai menggambar, namun bakatnya tidak diasah karena menggambar tidak ada UN-nya. Mereka hanya fokus pada materi-materi yang di-UN-kan saja.
Sekali lagi, setiap individu diciptakan dengan bakat yang berbeda-beda. Jika generasi UN ini terusberjalan dan membudaya maka tidak akan ada lagi musisi-musisi hebat yang lahir, tidak ada seniman-seniman dan atlet-atlet yang lahir. Indonesia hanya mementingkan dan menganggap spesial siswa dengan kemampuan akademis. Siswa yang tidak pandai dibidang akademis dianggap bodoh.
Jika guru menjelaskan dan guru menemukan siswa yang menggambar dibuku catatannya dianggap main-main, padahal dia berbakat dibindang menggambar. Tipe belajarnya tipe yang mudah mengingat apabila dengan gambar. Guru selalu berkata “nggambar terus di kelas. Besar besok mau jadi apa?”, memangnya menggambar itu sebuah aib? Apa menggambar itu tidak boleh? Padahal itu merupakan sebuah bakat.
Generasi UN terus ada karena kebijakan pemerintah memang seperti itu. Menciptakan generasi robot dan generasi UN. Memendam dan mengubur dalam-dalam bakat non-akademis siswa dan memaksa siswa untuk pandai dalam bidang akademis. Miris.
Sebenarnya yang memegang kendali penuh dalam kelas adalah guru itu sendiri. Guru yang baik akan melahirkan siswa yang baik pula. Bukan siswa yang dicetak oleh guru, namun guru memberikan fasilitas atas minat dan bakat setiap siswa. Jadi siswa tetap berkembang dan tumbuh sesuai dengan bakatnya. Guru dengan perhatian dan pengetahuan yang berkualitas akan mampu membimbing siswanya untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Hilangkan kesan horor dan menakutan, ubah jadi pribadi yang hangat dan menyenangkan namun tetap berwibawa. Selain siswa akan merasa senang, nantinya siswa akan merasa belajar itu menyenangkan. Jadi guru yang dirindukan kedatangannya dan dinantikan pemberian materinya.

”Didik dan persiapkanlah anak-anakmu, sesuai zamannya, karena mereka diciptakan untuk hidup pada masa yang berbeda dengan masamu” (Ali bin Abi Thalib )