Arisa berlari dengan
sekuat tenaga. Yukatanya berantakan. Homoginya pun kendor. Dia mencoba berlari
menghindari laki-laki berandal yang mencoba menyentuhnya. Sesekali dia melihat
ke belakang untuk memastikan dirinya sudah aman. Hujan kini mulai turun di
daerah Kyoto malam ini. Arisa tidak perduli dengan guyuran hujan yang membasuh
tubuhnya. Dia hanya ingin tenang, melarikan diri dari berandalan itu. Sekali
lagi dia melihat ke belakang, dia sudah aman. Kemudian dia berhenti. Seperti
pasrah merasakan dinginnya hujan malam ini.
Dia melihat ke langit
malam. Membiarkan wajahnya yang cantik disentuh oleh hujan. Hujan sedikit demi
sedikit menyentuh kulit putihnya. Rambut hitam panjangnya terurai, basah
terkena hujan.
Dia berada dikerumunan
orang-orang yang memiliki pasangan. Sedangkan dia, hanya sendiri.
Arisa menyenangi hujan.
Sentuhan airnya, bau tanah basah yang disebabkan oleh hujan, bahkan dia tidak
perduli jika banyak orang-orang yang melihatnya basah kuyup karena hujan. Dia
sangat menikmati hujan malam ini.
“Kau bisa sakit jika
terus seperti ini.” Suara laki-laki yang mengagetkan Arisa dari belakang. Dia
takut jika suara itu adalah suara berandalan yang tadi. Arisa ragu untuk
membuka matanya. Namun tetesan hujan tak dirasakannya lagi. Kemudian Arisa
membuka matanya. Ada seseorang yang sedang memayungi dirinya. Arisa menoleh ke
belakang. Memastikan siapa pria yang memayunginya.
“Kau..” Arisa terkejut
mengenali pria itu. Dia adalah Seiki. Teman sekelasnya. Seiki sekarang nyaris
basah karena memberikan payungnya untuk memayungi Arisa. Seiki hanya tersenyum.
“Pakailah ini.” Seiki
melepas jaketnya dan memberikan payungnya kepada Arisa. Arisa hanya terdiam.
Kemudian Seiki memakaikannya ke tubuh Arisa. Kini tubuh Arisa terbalut jaket
Seiki. Arisa hanya terdiam. Raganya tak mampu berbohong. Tubuhnya semakin lama
semakin mengigil kedinginan karena hujan ini.
“Kuantar kau pulang.”
Seiki tersenyum hingga nampak jelas kawat gigi yang berjejer rapi digiginya.
Arisa diam-diam menikmati senyum Seiki yang manis dengan lesung pipi. Arisa
hanya mengangguk.
Sepanjang perjalanan
mereka hanya saling diam. Kini mereka berada disatu payung yang sama. Dengan
langkah kaki yang seirama. Diam-diam Arisa memperhatikan wajah Seiki. Wajahnya
yang terkesan cuek dan mata yang sedingin es. Namun jika senyum mengembang
dibibirnya, semuanya terlihat berbeda. Dia terlihat rupawan. Pria pemain piano
memang memiliki aura yang berbeda. Sudah lama mereka Nampak akrab. Namun tak
ada kemajuan sama sekali. Mereka sering pergi bersama, berangkat dan pulang
sekolah bersama, bermain bersama. Apapun yang mereka lakukan selalu bersama.
Dibelokan pertama
setelah jalan menanjak, disitulah rumah Arisa. Rumah Seiki tak jauh dari situ.
Hanya berbeda satu gang saja. Sesampainya di depan rumah Arisa mereka saling
diam. Hanya hujan yang menjadi peramai daerah Kyoto dan suasana mereka berdua.
“Aku-“ Mereka berbicara
bersamaan. Kemudian saling diam.
“Kau saja duluan-“
Lagi-lagi mereka bicara bersamaan. Kemudian saling diam. Beberapa detik setelah
mereka saling diam, tangan Seiki menggenggam tangan Arisa. Arisa hanya terkejut
dan reflex melepaskan genggaman itu.
“Kau-ini.. kenapa?”
tanya Arisa.
“Tidak. Kau saja yang
duluan. Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu?”
“I-iya. Memang.”
“Kalau begitu
bicaralah.”
Hujan kala itu sedikit
mereda, hanya rintik gerimis yang tersisa malam itu. Suasana di depan rumah
Arisa semakin mendukung.
“Aku-“ sebelum Arisa
menyelesaikan kalimatnya, Seiki dengan cepat menutup mulut Arisa dengan satu
jari dan tersenyum.
“Setelah kupikir-pikir
lebih baik kau segera masuk. Kau bisa masuk angin jika berada diluar terus.
Masuklah. Pakai saja jaketku. Kembalikan besok.” Seiki kemudian membuka pagar
rumah Arisa dan mengantarkannya pas di depan pintu. Seiki kemudian pergi dengan
tawa yang memperlihatkan kawat giginya. Arisa hanya terpaku dan melambaikan
tangan.
Seiki berjalan ditengah
hujan dengan memakai baju yang nyaris setengah basah dan satu payung. Dia
berjalan dengan langkah yang gelisah. Dia seperti memikirkan sesuatu. Seiki
berhenti dibawah lampu jalanan dekat taman. Dia memasuki taman dan duduk di
ayunan. Dia meletakkan payungnya dan membiarkan tubuhnya basah. Meski hanya
rintik hujan namun dengan pasti rintik ini berhasil membuat baju Seiki semakin
basah. Kemudian dia hanya menunduk.
“Kau bisa masuk angin,
bodoh!” suara lembut perempuan yang dikenalnya. Seiki mendongak dan ada
perempuan yang sangat dia kenal. Reika.
“Kau sedang apa disini?”
tanya Seiki kepada perempuan yang saat ini berdiri di depannya dan memegang 2
payung. Satu untuk melindunginya dan satunya lagi untuk Seiki.
“Harusnya aku yang
bertanya padamu. Sedang apa kau malam-malam disini dan betapa bodohnya dirimu
membiarkan hujan malam membasahi tubuhmu. Bagaimana kau bisa begitu bodoh tak
menggunakan payung yang jelas-jelas sudah kau bawa?” Reika memarahi Seiki. Dan
Seiki hanya tersenyum.
“Kau-kau sedang apa
melihatku seperti itu?” Reika dalam mode tsundere. Wajahnya tersipu.
“Tak apa. Kau lucu saat
kau sedang marah.” Seiki beranjak dari ayunan dan mencubit pipi Reika.
“Kau.. gila. Mana ada
orang yang tampak lucu saat dia sedang marah.”
“Ada. Kau. Tehe~. Kau
tau, aku suka saat kau marah-marah demi kebaikanku. Itu lucu sekali.”
“Bo-bodoh! Huh.” Reika
memalingkan wajahnya dan beranjak pergi meninggalkan Seiki. Seiki hanya
tersenyum dan mengikutinya dari belakang.
Keesokan harinya di
kelas, Arisa melakukan ritualnya jika ia bosan. Melihat Seiki. Memperhatikan
Seiki yang sepertinya juga mulai bosan dengan kelas Bahasa Inggris ini. Seperti
biasa. Dia memasang headshet disebelah telinganya dan mulai melihat ke luar
jendela. Seperti menerawang sesuatu. Saat jam istirahat Arisa menghampiri Seiki
dan mengembalikan jaketnya dengan ucapan terima kasih.
“Jika tidak keberatan
aku ingin bicara padamu sepulang sekolah.” Arisa mengajak Seiki.
“Tak masalah. Kutunggu
di ruang musik.” Arisa menyetujuinya.
Seiki terlebih dulu
sampai di ruang musik. Sambil menunggu dia memainkan piano dengan nada-nada
yang enak di dengar. Tak lama setelah itu Arisa datang, namun Seiki tak
menyadari kedatangan Arisa dan tetap memainkan piano. Arisa pun juga menikmati
alunan nada yang dimainkan oleh jemari Seiki. Setelah satu lagu selesai mereka
baru bertatapan.
“Kau sudah datang?”
tanya Seiki dan dijawab dengan satu anggukan dari Arisa.
“Sudah lama?” tanya
Arisa.
“Tidak. Kau ingin bicara
apa?”
“Oh.. itu.” Arisa
menghentikan kata-katanya. Dia mengeluarkan kertas dan mulai menulis disana.
Setelah selesai dia menunjukkannya pada Seiki. Seiki mulai membaca tulisan
Arisa.
“A-ku men-cin-ta-i-mu.
Ja-di-lah pa-car-ku. Aku mencintaimu, jadilah pacarku. Hah?” Seiki menjawab
dengan muka bingung. Arisa hanya mengangguk dan tersipu.
“Maafkan aku Arisa. Aku
sudah mencintai orang lain selain dirimu. Bukan maksud ingin melukai hatimu.
Tapi.. sungguh maafkan aku.” Jawab Seiki. Arisa hanya terkejut. Dia kira selama
ini perhatian Seiki adalah cara untuk menunjukkan bahwa Seiki mencintai Arisa.
Ternyata tidak. Itu adalah sifat asli dari Seiki yang sangat baik hati.
Arisa kemudian
tersenyum.
“Begitukah? Tidak
apa-apa. Siapa?”
Seiki terdiam beberapa
saat. Menatap lekat wajah Arisa. Memperhatikan setiap detail dari wajahnya.
Rambut hitamnya yang lurus terurai. Matanya yang berwarna coklat keemasan.
Serta kulit putih yang halus. Dia perempuan yang sangat baik hati dan tidak
banyak menuntut. Sangat cerdas dan pengertian.
“Kenapa bukan kau yang
aku cintai, Arisa?”
“Aku tidak apa. Seiki.
Tenanglah, aku tidak apa. Lupakan saja aku jika itu membuatmu senang. Lupakan
aku jika kau bisa tertawa lagi. Lupakan aku, dan temui dia. Lupakan aku jika
itu bisa membuatmu bahagia. Bahagiamu adalah bahagiaku juga.”
“Arisa.. Maafkan aku.”