Selasa, 29 Desember 2015

Rain



Arisa berlari dengan sekuat tenaga. Yukatanya berantakan. Homoginya pun kendor. Dia mencoba berlari menghindari laki-laki berandal yang mencoba menyentuhnya. Sesekali dia melihat ke belakang untuk memastikan dirinya sudah aman. Hujan kini mulai turun di daerah Kyoto malam ini. Arisa tidak perduli dengan guyuran hujan yang membasuh tubuhnya. Dia hanya ingin tenang, melarikan diri dari berandalan itu. Sekali lagi dia melihat ke belakang, dia sudah aman. Kemudian dia berhenti. Seperti pasrah merasakan dinginnya hujan malam ini.
Dia melihat ke langit malam. Membiarkan wajahnya yang cantik disentuh oleh hujan. Hujan sedikit demi sedikit menyentuh kulit putihnya. Rambut hitam panjangnya terurai, basah terkena hujan.
Dia berada dikerumunan orang-orang yang memiliki pasangan. Sedangkan dia, hanya sendiri.
Arisa menyenangi hujan. Sentuhan airnya, bau tanah basah yang disebabkan oleh hujan, bahkan dia tidak perduli jika banyak orang-orang yang melihatnya basah kuyup karena hujan. Dia sangat menikmati hujan malam ini.
“Kau bisa sakit jika terus seperti ini.” Suara laki-laki yang mengagetkan Arisa dari belakang. Dia takut jika suara itu adalah suara berandalan yang tadi. Arisa ragu untuk membuka matanya. Namun tetesan hujan tak dirasakannya lagi. Kemudian Arisa membuka matanya. Ada seseorang yang sedang memayungi dirinya. Arisa menoleh ke belakang. Memastikan siapa pria yang memayunginya.
“Kau..” Arisa terkejut mengenali pria itu. Dia adalah Seiki. Teman sekelasnya. Seiki sekarang nyaris basah karena memberikan payungnya untuk memayungi Arisa. Seiki hanya tersenyum.
“Pakailah ini.” Seiki melepas jaketnya dan memberikan payungnya kepada Arisa. Arisa hanya terdiam. Kemudian Seiki memakaikannya ke tubuh Arisa. Kini tubuh Arisa terbalut jaket Seiki. Arisa hanya terdiam. Raganya tak mampu berbohong. Tubuhnya semakin lama semakin mengigil kedinginan karena hujan ini.
“Kuantar kau pulang.” Seiki tersenyum hingga nampak jelas kawat gigi yang berjejer rapi digiginya. Arisa diam-diam menikmati senyum Seiki yang manis dengan lesung pipi. Arisa hanya mengangguk.
Sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam. Kini mereka berada disatu payung yang sama. Dengan langkah kaki yang seirama. Diam-diam Arisa memperhatikan wajah Seiki. Wajahnya yang terkesan cuek dan mata yang sedingin es. Namun jika senyum mengembang dibibirnya, semuanya terlihat berbeda. Dia terlihat rupawan. Pria pemain piano memang memiliki aura yang berbeda. Sudah lama mereka Nampak akrab. Namun tak ada kemajuan sama sekali. Mereka sering pergi bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, bermain bersama. Apapun yang mereka lakukan selalu bersama.
Dibelokan pertama setelah jalan menanjak, disitulah rumah Arisa. Rumah Seiki tak jauh dari situ. Hanya berbeda satu gang saja. Sesampainya di depan rumah Arisa mereka saling diam. Hanya hujan yang menjadi peramai daerah Kyoto dan suasana mereka berdua.
“Aku-“ Mereka berbicara bersamaan. Kemudian saling diam.
“Kau saja duluan-“ Lagi-lagi mereka bicara bersamaan. Kemudian saling diam. Beberapa detik setelah mereka saling diam, tangan Seiki menggenggam tangan Arisa. Arisa hanya terkejut dan reflex melepaskan genggaman itu.
“Kau-ini.. kenapa?” tanya Arisa.
“Tidak. Kau saja yang duluan. Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu?”
“I-iya. Memang.”
“Kalau begitu bicaralah.”
Hujan kala itu sedikit mereda, hanya rintik gerimis yang tersisa malam itu. Suasana di depan rumah Arisa semakin mendukung.
“Aku-“ sebelum Arisa menyelesaikan kalimatnya, Seiki dengan cepat menutup mulut Arisa dengan satu jari dan tersenyum.
“Setelah kupikir-pikir lebih baik kau segera masuk. Kau bisa masuk angin jika berada diluar terus. Masuklah. Pakai saja jaketku. Kembalikan besok.” Seiki kemudian membuka pagar rumah Arisa dan mengantarkannya pas di depan pintu. Seiki kemudian pergi dengan tawa yang memperlihatkan kawat giginya. Arisa hanya terpaku dan melambaikan tangan.
Seiki berjalan ditengah hujan dengan memakai baju yang nyaris setengah basah dan satu payung. Dia berjalan dengan langkah yang gelisah. Dia seperti memikirkan sesuatu. Seiki berhenti dibawah lampu jalanan dekat taman. Dia memasuki taman dan duduk di ayunan. Dia meletakkan payungnya dan membiarkan tubuhnya basah. Meski hanya rintik hujan namun dengan pasti rintik ini berhasil membuat baju Seiki semakin basah. Kemudian dia hanya menunduk.
“Kau bisa masuk angin, bodoh!” suara lembut perempuan yang dikenalnya. Seiki mendongak dan ada perempuan yang sangat dia kenal. Reika.
“Kau sedang apa disini?” tanya Seiki kepada perempuan yang saat ini berdiri di depannya dan memegang 2 payung. Satu untuk melindunginya dan satunya lagi untuk Seiki.
“Harusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau malam-malam disini dan betapa bodohnya dirimu membiarkan hujan malam membasahi tubuhmu. Bagaimana kau bisa begitu bodoh tak menggunakan payung yang jelas-jelas sudah kau bawa?” Reika memarahi Seiki. Dan Seiki hanya tersenyum.
“Kau-kau sedang apa melihatku seperti itu?” Reika dalam mode tsundere. Wajahnya tersipu.
“Tak apa. Kau lucu saat kau sedang marah.” Seiki beranjak dari ayunan dan mencubit pipi Reika.
“Kau.. gila. Mana ada orang yang tampak lucu saat dia sedang marah.”
“Ada. Kau. Tehe~. Kau tau, aku suka saat kau marah-marah demi kebaikanku. Itu lucu sekali.”
“Bo-bodoh! Huh.” Reika memalingkan wajahnya dan beranjak pergi meninggalkan Seiki. Seiki hanya tersenyum dan mengikutinya dari belakang.
Keesokan harinya di kelas, Arisa melakukan ritualnya jika ia bosan. Melihat Seiki. Memperhatikan Seiki yang sepertinya juga mulai bosan dengan kelas Bahasa Inggris ini. Seperti biasa. Dia memasang headshet disebelah telinganya dan mulai melihat ke luar jendela. Seperti menerawang sesuatu. Saat jam istirahat Arisa menghampiri Seiki dan mengembalikan jaketnya dengan ucapan terima kasih.
“Jika tidak keberatan aku ingin bicara padamu sepulang sekolah.” Arisa mengajak Seiki.
“Tak masalah. Kutunggu di ruang musik.” Arisa menyetujuinya.
Seiki terlebih dulu sampai di ruang musik. Sambil menunggu dia memainkan piano dengan nada-nada yang enak di dengar. Tak lama setelah itu Arisa datang, namun Seiki tak menyadari kedatangan Arisa dan tetap memainkan piano. Arisa pun juga menikmati alunan nada yang dimainkan oleh jemari Seiki. Setelah satu lagu selesai mereka baru bertatapan.
“Kau sudah datang?” tanya Seiki dan dijawab dengan satu anggukan dari Arisa.
“Sudah lama?” tanya Arisa.
“Tidak. Kau ingin bicara apa?”
“Oh.. itu.” Arisa menghentikan kata-katanya. Dia mengeluarkan kertas dan mulai menulis disana. Setelah selesai dia menunjukkannya pada Seiki. Seiki mulai membaca tulisan Arisa.
“A-ku men-cin-ta-i-mu. Ja-di-lah pa-car-ku. Aku mencintaimu, jadilah pacarku. Hah?” Seiki menjawab dengan muka bingung. Arisa hanya mengangguk dan tersipu.
“Maafkan aku Arisa. Aku sudah mencintai orang lain selain dirimu. Bukan maksud ingin melukai hatimu. Tapi.. sungguh maafkan aku.” Jawab Seiki. Arisa hanya terkejut. Dia kira selama ini perhatian Seiki adalah cara untuk menunjukkan bahwa Seiki mencintai Arisa. Ternyata tidak. Itu adalah sifat asli dari Seiki yang sangat baik hati.
Arisa kemudian tersenyum.
“Begitukah? Tidak apa-apa. Siapa?”
Seiki terdiam beberapa saat. Menatap lekat wajah Arisa. Memperhatikan setiap detail dari wajahnya. Rambut hitamnya yang lurus terurai. Matanya yang berwarna coklat keemasan. Serta kulit putih yang halus. Dia perempuan yang sangat baik hati dan tidak banyak menuntut. Sangat cerdas dan pengertian.
“Kenapa bukan kau yang aku cintai, Arisa?”
“Aku tidak apa. Seiki. Tenanglah, aku tidak apa. Lupakan saja aku jika itu membuatmu senang. Lupakan aku jika kau bisa tertawa lagi. Lupakan aku, dan temui dia. Lupakan aku jika itu bisa membuatmu bahagia. Bahagiamu adalah bahagiaku juga.”
“Arisa.. Maafkan aku.”