Selasa, 29 Desember 2015

Rain



Arisa berlari dengan sekuat tenaga. Yukatanya berantakan. Homoginya pun kendor. Dia mencoba berlari menghindari laki-laki berandal yang mencoba menyentuhnya. Sesekali dia melihat ke belakang untuk memastikan dirinya sudah aman. Hujan kini mulai turun di daerah Kyoto malam ini. Arisa tidak perduli dengan guyuran hujan yang membasuh tubuhnya. Dia hanya ingin tenang, melarikan diri dari berandalan itu. Sekali lagi dia melihat ke belakang, dia sudah aman. Kemudian dia berhenti. Seperti pasrah merasakan dinginnya hujan malam ini.
Dia melihat ke langit malam. Membiarkan wajahnya yang cantik disentuh oleh hujan. Hujan sedikit demi sedikit menyentuh kulit putihnya. Rambut hitam panjangnya terurai, basah terkena hujan.
Dia berada dikerumunan orang-orang yang memiliki pasangan. Sedangkan dia, hanya sendiri.
Arisa menyenangi hujan. Sentuhan airnya, bau tanah basah yang disebabkan oleh hujan, bahkan dia tidak perduli jika banyak orang-orang yang melihatnya basah kuyup karena hujan. Dia sangat menikmati hujan malam ini.
“Kau bisa sakit jika terus seperti ini.” Suara laki-laki yang mengagetkan Arisa dari belakang. Dia takut jika suara itu adalah suara berandalan yang tadi. Arisa ragu untuk membuka matanya. Namun tetesan hujan tak dirasakannya lagi. Kemudian Arisa membuka matanya. Ada seseorang yang sedang memayungi dirinya. Arisa menoleh ke belakang. Memastikan siapa pria yang memayunginya.
“Kau..” Arisa terkejut mengenali pria itu. Dia adalah Seiki. Teman sekelasnya. Seiki sekarang nyaris basah karena memberikan payungnya untuk memayungi Arisa. Seiki hanya tersenyum.
“Pakailah ini.” Seiki melepas jaketnya dan memberikan payungnya kepada Arisa. Arisa hanya terdiam. Kemudian Seiki memakaikannya ke tubuh Arisa. Kini tubuh Arisa terbalut jaket Seiki. Arisa hanya terdiam. Raganya tak mampu berbohong. Tubuhnya semakin lama semakin mengigil kedinginan karena hujan ini.
“Kuantar kau pulang.” Seiki tersenyum hingga nampak jelas kawat gigi yang berjejer rapi digiginya. Arisa diam-diam menikmati senyum Seiki yang manis dengan lesung pipi. Arisa hanya mengangguk.
Sepanjang perjalanan mereka hanya saling diam. Kini mereka berada disatu payung yang sama. Dengan langkah kaki yang seirama. Diam-diam Arisa memperhatikan wajah Seiki. Wajahnya yang terkesan cuek dan mata yang sedingin es. Namun jika senyum mengembang dibibirnya, semuanya terlihat berbeda. Dia terlihat rupawan. Pria pemain piano memang memiliki aura yang berbeda. Sudah lama mereka Nampak akrab. Namun tak ada kemajuan sama sekali. Mereka sering pergi bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, bermain bersama. Apapun yang mereka lakukan selalu bersama.
Dibelokan pertama setelah jalan menanjak, disitulah rumah Arisa. Rumah Seiki tak jauh dari situ. Hanya berbeda satu gang saja. Sesampainya di depan rumah Arisa mereka saling diam. Hanya hujan yang menjadi peramai daerah Kyoto dan suasana mereka berdua.
“Aku-“ Mereka berbicara bersamaan. Kemudian saling diam.
“Kau saja duluan-“ Lagi-lagi mereka bicara bersamaan. Kemudian saling diam. Beberapa detik setelah mereka saling diam, tangan Seiki menggenggam tangan Arisa. Arisa hanya terkejut dan reflex melepaskan genggaman itu.
“Kau-ini.. kenapa?” tanya Arisa.
“Tidak. Kau saja yang duluan. Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu?”
“I-iya. Memang.”
“Kalau begitu bicaralah.”
Hujan kala itu sedikit mereda, hanya rintik gerimis yang tersisa malam itu. Suasana di depan rumah Arisa semakin mendukung.
“Aku-“ sebelum Arisa menyelesaikan kalimatnya, Seiki dengan cepat menutup mulut Arisa dengan satu jari dan tersenyum.
“Setelah kupikir-pikir lebih baik kau segera masuk. Kau bisa masuk angin jika berada diluar terus. Masuklah. Pakai saja jaketku. Kembalikan besok.” Seiki kemudian membuka pagar rumah Arisa dan mengantarkannya pas di depan pintu. Seiki kemudian pergi dengan tawa yang memperlihatkan kawat giginya. Arisa hanya terpaku dan melambaikan tangan.
Seiki berjalan ditengah hujan dengan memakai baju yang nyaris setengah basah dan satu payung. Dia berjalan dengan langkah yang gelisah. Dia seperti memikirkan sesuatu. Seiki berhenti dibawah lampu jalanan dekat taman. Dia memasuki taman dan duduk di ayunan. Dia meletakkan payungnya dan membiarkan tubuhnya basah. Meski hanya rintik hujan namun dengan pasti rintik ini berhasil membuat baju Seiki semakin basah. Kemudian dia hanya menunduk.
“Kau bisa masuk angin, bodoh!” suara lembut perempuan yang dikenalnya. Seiki mendongak dan ada perempuan yang sangat dia kenal. Reika.
“Kau sedang apa disini?” tanya Seiki kepada perempuan yang saat ini berdiri di depannya dan memegang 2 payung. Satu untuk melindunginya dan satunya lagi untuk Seiki.
“Harusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau malam-malam disini dan betapa bodohnya dirimu membiarkan hujan malam membasahi tubuhmu. Bagaimana kau bisa begitu bodoh tak menggunakan payung yang jelas-jelas sudah kau bawa?” Reika memarahi Seiki. Dan Seiki hanya tersenyum.
“Kau-kau sedang apa melihatku seperti itu?” Reika dalam mode tsundere. Wajahnya tersipu.
“Tak apa. Kau lucu saat kau sedang marah.” Seiki beranjak dari ayunan dan mencubit pipi Reika.
“Kau.. gila. Mana ada orang yang tampak lucu saat dia sedang marah.”
“Ada. Kau. Tehe~. Kau tau, aku suka saat kau marah-marah demi kebaikanku. Itu lucu sekali.”
“Bo-bodoh! Huh.” Reika memalingkan wajahnya dan beranjak pergi meninggalkan Seiki. Seiki hanya tersenyum dan mengikutinya dari belakang.
Keesokan harinya di kelas, Arisa melakukan ritualnya jika ia bosan. Melihat Seiki. Memperhatikan Seiki yang sepertinya juga mulai bosan dengan kelas Bahasa Inggris ini. Seperti biasa. Dia memasang headshet disebelah telinganya dan mulai melihat ke luar jendela. Seperti menerawang sesuatu. Saat jam istirahat Arisa menghampiri Seiki dan mengembalikan jaketnya dengan ucapan terima kasih.
“Jika tidak keberatan aku ingin bicara padamu sepulang sekolah.” Arisa mengajak Seiki.
“Tak masalah. Kutunggu di ruang musik.” Arisa menyetujuinya.
Seiki terlebih dulu sampai di ruang musik. Sambil menunggu dia memainkan piano dengan nada-nada yang enak di dengar. Tak lama setelah itu Arisa datang, namun Seiki tak menyadari kedatangan Arisa dan tetap memainkan piano. Arisa pun juga menikmati alunan nada yang dimainkan oleh jemari Seiki. Setelah satu lagu selesai mereka baru bertatapan.
“Kau sudah datang?” tanya Seiki dan dijawab dengan satu anggukan dari Arisa.
“Sudah lama?” tanya Arisa.
“Tidak. Kau ingin bicara apa?”
“Oh.. itu.” Arisa menghentikan kata-katanya. Dia mengeluarkan kertas dan mulai menulis disana. Setelah selesai dia menunjukkannya pada Seiki. Seiki mulai membaca tulisan Arisa.
“A-ku men-cin-ta-i-mu. Ja-di-lah pa-car-ku. Aku mencintaimu, jadilah pacarku. Hah?” Seiki menjawab dengan muka bingung. Arisa hanya mengangguk dan tersipu.
“Maafkan aku Arisa. Aku sudah mencintai orang lain selain dirimu. Bukan maksud ingin melukai hatimu. Tapi.. sungguh maafkan aku.” Jawab Seiki. Arisa hanya terkejut. Dia kira selama ini perhatian Seiki adalah cara untuk menunjukkan bahwa Seiki mencintai Arisa. Ternyata tidak. Itu adalah sifat asli dari Seiki yang sangat baik hati.
Arisa kemudian tersenyum.
“Begitukah? Tidak apa-apa. Siapa?”
Seiki terdiam beberapa saat. Menatap lekat wajah Arisa. Memperhatikan setiap detail dari wajahnya. Rambut hitamnya yang lurus terurai. Matanya yang berwarna coklat keemasan. Serta kulit putih yang halus. Dia perempuan yang sangat baik hati dan tidak banyak menuntut. Sangat cerdas dan pengertian.
“Kenapa bukan kau yang aku cintai, Arisa?”
“Aku tidak apa. Seiki. Tenanglah, aku tidak apa. Lupakan saja aku jika itu membuatmu senang. Lupakan aku jika kau bisa tertawa lagi. Lupakan aku, dan temui dia. Lupakan aku jika itu bisa membuatmu bahagia. Bahagiamu adalah bahagiaku juga.”
“Arisa.. Maafkan aku.”


Sabtu, 21 November 2015

Kyouka Suigetsu - Mafumafu


ROMANJI

“Hagurenai you ni” to tsubuyaite
Boku no suso wo tsukanda
Shizukesa ga zutto tsuduita you na
Ano natsuzora no shita

Satsuki yami ga akete
Hitomi no eishaki no naka
Hashiriyoru kimi no itoshisa
Mou modorenai

#
Toki ga yoru wo tsurete
Kimi to miteita sora wo 
Kuraku someageru
Karatomurai ashita no saki ni
 
Nee, mada kimi wa imasu ka?

Yukikau dareka ni yosomi shite
Kimi wo okoraseta koto
Sonna shiawase to machiawase
 
Ano jinja no soba

Surechigatte utsusemi
Kitto tadoreba yokorenbo
“Kidukanai furi shita kuse ni”
Ttesa kimi wa iu?

#
Akiru made miteita kimi to miteita
Sora wa doko made tsuduku no?
Tsudukanai no wa hanabi no ne ya
Sou futari no koi

Ima wa sawarenai mono ya
Wasureta mono wo
Hitotsu, futatsu, kazoeteiku
Mizu ni utsuru tsuki no iro toka
Ano hosoi yubisaki toka

Yume no mani mani

Mata nandomo, mata nando demo
Ano hanabi wo mini yukunda
Boku wa mada kimi ga suki dayo
Nee!

Yume hanabi
Tomore akashiro kiiro
Boku to ano ko no aida de
 
Me wo fusaide kita sono subete
 
Ima omoidasasete

Yoidoki ga yoru wo tsurete
Kimi to miteita sora wo
Kuraku someageru
Chiisaku natta oto no saki ni
Nee, mada kimi wa imasu ka?

Nee~

ENGLISH TRANSLATION

“So we don’t get separated”, you whisper

As you cling onto my shirt hem
Under that summer sky
Peace seems to continue forever


The darkest night in the rainy season has brightened

Inside the film projector in my eye
I run up to you, but your affection
Can no longer return


Time takes the night away

And dyes the sky I saw with you black
With the burial of my unresolved love*, I look towards tomorrow
Hey, are you still there?


The times when I had made you angry

By being distracted as someone passed by
A rendezvous with that sort of happiness
Next to that shrine


Passing by each other in reality

If we had follow through, it’d surely have been a forbidden love
“Even though you pretended not to notice”
Remember, you would say?


Watching it until I grew tired, watching it with you

Where will the sky continue to?
What won’t continue is the sound of the fireworks
Yes, just like the two of our love


Right now, the things I can’t touch & the things I have to forget

One, two, I continue to count
The color of the moon reflected in the water
And those thin fingers of yours


At the mercy of my dreams

No matter how many times, no matter how many times again

I will go to see those fireworks
I still like you, you know

Hey!

Dream fireworks, light up in red, white, and yellow

In the space between me and that girl
Everything that I’ve closed my eyes to
Right now, let me recall it


The early evening hours take the night away

And dye the sky I saw with you black
Beyond the slowly fading sounds
Hey, are you still there 

Hey~

Selasa, 03 November 2015

Kaito's Side [LenxRin]


Namaku Kaito.
Laki-laki biasa berumur 19 tahun. Laki-laki yang saat ini jauh dari orangtua karena pendidikan. Aku rela pergi ke kota lain hanya untuk menempuh pendidikan dan mengincar sekolah yang aku inginkan. Tujuanku hanya satu. Membuktikan kepada keluragaku bahwa aku mampu. Hanya itu. Aku meneruskan studiku dengan beasiswa. Tak sepeserpun uang orangtuaku keluarkan untuk pendidikanku disini.
Aku hanya siswa biasa yang kehidupannya bisa dikatakan sangat abu-abu dan tak berwarna. Tunggu. Abu-abu adalah warna. Mungkin kehidupan sekolahku sangat suram tak berwarna.
Aku memilih jurusan olahraga. Selain aku menyukai olahraga, aku tak terlalu pandai dibidang akademik dan agak tidak suka jika harus senantiasa di dalam kelas. Mungkin aku memiliki jiwa yang ingin bebas. Bagiku kegiatan luar kelas adalah yang cocok untukku. Karena ku dengar jurusan olahraga lebih banyak praktek di lapangan, sepertinya ini akan cocok denganku selain aku penyuka olahraga.
Dari bawah sini kadang aku melihat seorang gadis berambut hitam yang bergelombang dari lantai atas. Sering ku perhatikan dia, matanya sangat berbinar jika melihat kelasku bermain basket. Aku bisa melihatnya dari bawah dengan jelas. Dia sering melihat ke arah bawah dengan menopang kepalanya dengan satu tangannya yang senantiasa memegang pensil mekanik itu. Sesekali dia kembali fokus pada kelas, namun kemudian dia kembali melihat bawah. Kadang dia melihat ke arah langit. Seperti ada yang ingin dia sampaikan kepada langit biru dan dedaunan.
Aku sering memperhatikan dia dari bawah sini. Laki-laki yang duduk di belakangnya kadang juga ikut melihat ke arah bawah jika dia tahu bahwa gadis itu melihat bawah dalam waktu yang cukup lama. Aku kadang melihat laki-laki itu bermain dengan rambut gadis itu. Dia seperti ‘ingin tahu’ apa yang sedang dilihat gadis itu dalam waktu yang cukup lama. Hal apa yang bisa membuat gadis itu sampai berpaling dari pelajaran di kelas.
Dari bawah sini bisa ku lihat dengan jelas. Kadang laki-laki itu mengecak-acak manis kepala gadis itu. Kadang ku lihat pula laki-laki itu memberikan makanan ringan yang mungkin itu adalah pocky. Terkadang gadis itu membalikkan kursinya ke arah meja laki-laki itu. Sepertinya untuk belajar sesuatu. Mereka kadang tertawa bersama. Namun kadang duduk berjauhan.
Mereka nampak sangat dekat. Namun kadang aku melihat mereka seperti tak saling kenal. Hanya opiniku saja. Mereka saling suka namun tak ada yang berani mengatakannya. Gadis itu seperti menunggu. Dan laki-laki itu terkesan cuek.
Seusai kelas kadang aku menjumpai mereka pulang bersama. Mereka nampak sangat dekat. Sangat akrab. Dari dekat bisa ku lihat. Mata lebar dan jernih dari gadis itu. Senyum ceria yang selalu dia keluarkan. Aura menarik yang terpancar dari dirinya. Tubuh mungil dan rambut bergelombang yang indah. Laki-laki itu memiliki tubuh yang tinggi dan terkesan cuek. Laki-laki itu selalu memasang sebelah earphonenya dan memasukkan kedua tangannya dalam saku jaketnya.
Sepertinya mereka memiliki hubungan khusus.
Namun jika dibandingkan dengan teman-temannya, bisa dibilang mereka tak cukup akrab satu sama lain. Seperti tak saling kenal. Namun aku bisa tahu dari sorot mata gadis dan laki-laki itu bahwa mereka sebenarnya cukup akrab. Hanya saja tidak ada yang tahu. Seperti hanya gadis itu dan laki-laki itu yang tau sejauh apa hubungan mereka berdua. Aku hanya tak habis pikir apa yang mereka pikirkan. Sekedar berteman tapi terlihat akrab hanya pada saat-saat berdua. Namun kadang terlihat canggung. Mereka berdua seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh teman-temannya.
Gadis itu terlihat pendiam apabila sudah berkumpul dengan teman-temannya. Dan justru laki-laki itu yang tampak mencolok dan bersinar. Laki-laki itu seperti memiliki daya tarik tersendiri dimata teman-teman dan gadis-gadis lain di sekitarnya. Aku berani bertaruh, laki-laki itu tak hanya dekat dengan satu perempuan saja. Seperti berubah 180o, kini gadis berwajah ceria itu dan laki-laki yang nampak dekat dengan dia seperti tak saling kenal, saling menjauh, bahkan seperti acuh. Laki-laki itu nampak lebih beraura dan gadis itu seperti bayangan, tak ada, bahkan mungkin tak dianggap. Ironis. Jadi sebenarnya seperti apa hubungan mereka berdua?
Aku ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Tak hanya sekedar melihat dari bawah sini dan dari kejauhan. Aku ingin mengenalnya seperti laki-laki itu mengenalnya. Bahkan jika bisa aku akan lebih menganggap gadis itu ada dan berharga, bukan seperti tak melihatnya. Akan kuperlakukan dia sama dengan yang biasanya. Jarak ini tak cukup masuk akal. Hanya bisa memperhatikan dia dari bawah sini. Dan dia hanya bisa memperhatikan dari atas. Aku ingin dilihat olehnya. Bukan sekedar dia melihat pria pemain olahraga. Aku ingin dilihatnya sebagai teman. Atau lebih. Jujur saja. Jarak ini sangat mengganggu. Betapa beruntung menjadi laki-laki yang selalu gadis itu pikirkan. Betapa beruntung mereka yang bisa bertemu dan tertawa dengan dia setiap hari. Tanpa jarak yang tak masuk akal ini.

Kaito.

Minggu, 01 Maret 2015

Len [Rin]

Perempuan berumur 18 tahun yang biasa saja. Aku seorang mahasiswi dari universitas yang letaknya tak jauh dari rumahku. Jarak dari rumahku dengan kampus sekitar 20 menit jika menaiki motor. Dengan tekad bulat aku ingin lulus secepatnya dengan nilai yang baik dan segera bisa bekerja. Jika untuk lulus memerlukan waktu 4 tahun, kalau bisa aku ingin lulus dalam jangka waktu 3 tahun. Namun sepertinya di universitas ini tidak memperbolehkan hal semacam itu.
Awalnya aku memasuki jurusan ini sangat membosankan. Aku sama sekali tidak memiliki teman dan tidak tertarik untuk memulai pembicaraan. Wajar saja, aku gadis yang pendiam. Bahkan terkesan jutek dan sinis. Di mata mereka mungkin aku tidak menarik dan membosankan.
Aku memasuki kelas dan memilih bangku tengah yang hampir belakang dekat jendela. Posisi ini sangat nyaman. Ditambah lagi posisi ini bisa menghilangkan kejenuhan saat di kelas. Melihat langit, dan melihat pepohonan ditiup angin, itu bisa menjadi penyembuh dikala jenuh dengan dosen yang menjelaskan dengan cara monoton. Dari sini aku bisa melihat bawah dengan jelas. Melihat jurusan lain bahkan kelas lain pada saat jam olah raga. Aku menyukai pria yang pandai di bidang olahraga. Karena aku lemah dibidang olahraga. Harapannya jika aku mengenal sosok pria baik yang pandai olahraga, dia mau mengajariku yang lemah dibidang olahraga ini.
Terutama basket. Aku suka semua hal tentang basket. 2d maupun nyata. Aku suka dengan olahraga itu. Bahkan aku betah melihat pertandingan basket, aku suka fansgirling jika bertemu pria pemain basket. Entah apa yang membuatku tergila-gila dengan basket. Padahal aku adalah gadis yang bodoh dalam bidang olahraga. Entah, pemain basket terlihat begitu energik dan rupawan. Enak dilihat, serta tidak membosankan.
Di kelasku ada, ya, satu pemain basket yang kukenal. Namanya Len. Dia duduk persis dibelakangku. Dia adalah pria yang wangi. Dia memiliki hati yang baik. Sisi humorisnya bisa dibilang rendah, namun dia tetap adalah seorang teman yang baik. Dia pria bertubuh tinggi. Mungkin sekitar 175cm. Sedangkan aku hanya 150cm-an. Dia memiliki rambut yang lurus. Dengan potongan rambut yang menjadi ciri khasnya. Jika kebanyakan pria memilih memiliki potongan rambut poni lempar, dia memilih memiliki jambul. Pipinya tembem,dan itu sangat menggemaskan. Yang aku tau  dia jarang tersenyum. Dia pria pindahan dari kota yang tak jauh dari sini. Dia menarik, karena dia misterius.
Aku suka tatapan matanya yang dingin. Itu membuatnya lebih terlihat keren bagiku. Selain pemain basket, dia adalah seorang gamer yang pro. Dia pandai menggambar. Dan dia juga seorang otaku yang bermimpi bisa menjadi harem(?).
Dia menyukai coklat, cerita horror, dan aku tidak seberapa tahu tentang dirinya. Dia adalah pria yang pendiam. Dia jarang, bahkan tidak pernah bercerita tentang dirinya. Dia sepertinya tipikal yang menyimpan masalahnya sendiri. Padahal aku ingin sekali bisa menjadi sahabat baginya. Namun baginya aku hanya seorang anak kecil. Mungkin dia hanya menganggapku sebagai adik. Terbukti dari caranya memperlakukan aku. Dia sering mengacak-acak manis kepalaku. Dia sering memberi pocky, kesukaanku.
Aku pernah ingin membalas kebaikannya dengan mebelikan dia sesuatu. Namun dia selalu menolak. Dia sepertinya tidak suka barang jika itu dari pemberianku.
Bisa dibilang kami sangat akrab. Sangat akrab. Namun aku tidak bisa menjelaskan zona apa yang sedang kualami saat ini. Friendzone? Kakak-adik zone? Atau hanya sekedar zona nyaman?
Dia cuek. Aku ingin tau bagaimana perasaannya kepadaku. Perasaan sesungguhnya yang dia rasakan. Menganggapku sebagai apa. Sebatas teman atau lebih. Hanya itu yang ingin aku tau.
Semakin kesini aku tak betah menunggu. Kau tau, Len?
Aku selalu menunggu sampai akhirnya kau mengatakannya padaku.
Aku hanya butuh kepastian saja. Zona ini membuatku bingung sendiri soal perasaanku. Ini sekedar perasaan suka atau perasaan sayang.
Aku akan bertahan sampai akhirnya ada kepastian. Bertahan memiliki perasaan ini hingga kau datang padaku atau bahkan kau pergi dan memilih wanita lain. Jika akhirnya kau pergi dengan yang lain, sudah jelas jika perasaanku ini sekedar perasaan cinta yang bertepuk sebelah tangan.



Rin.

Rin [Len]

Aku seorang laki-laki biasa yang berasal dari kota tetangga. Aku kesini hanya untuk melanjutkan studiku. Untuk menjadi seseorang yang kelak akan membahagiakan keluarga. Tujuanku hanya itu. Ya, hanya itu. Aku bertekad tidak akan memikirkan hal lain kecuali untuk lulus dengan nilai yang baik. Sampai suatu hari aku bertemu dengan dia. Perempuan bertubuh mungil yang awalnya kukira adalah murid smp. Tapi ternyata dia adalah teman sekelasku.
Namanya Rin. Dia adalah gadis yang ceria. Dia memiliki rambut hitam panjang yang bergelombang, mata yang lebar serta tubuh yang mungil. Sungguh, dia tidak terlihat seperti mahasiswi pada umumnya. Bukan hanya tubuhnya yang ‘kurang’ tinggi. Namun tingkah dan kebiasaannya juga tidak memenuhi syarat sebagai mahasiswi. Dia senang memakan hal yang manis. Seperti permen, pocky, bahkan coklat. Dia juga menyukai ice cream. Bila diantara kami, pikirannya masih sangat polos.
Aku tau kebiasaannya. Karena sejak awal kami memang sangat dekat. Diam-diam aku memperhatikan dia. Mungkin aku terkesan cuek dan tidak perduli. Namun sesungguhnya aku diam-diam menyukainya.
Aku sering mengacak-acak rambutnya. Memegang kepalanya. Dia sangat lucu.
Tak perduli seberapa kami dekat di dunia maya, di dunia nyata kami seperti tidak saling kenal. Bukan tidak saling kenal seperti orang asing, tapi tidak seakrab saat di dunia maya. Jujur saja, aku ingin sekali berbicara dengan dia.
Dia seorang anime lovers serta seorang nijikon, pengkoleksi figure dan pembaca komik. Dia juga suka menulis. Sayang, dia tak bisa menggambar.
Dia seorang adis yang penakut. Dia juga adalah gadis yang ceroboh. Pelupa, sama sepertiku.
Kami sangat dekat, entah sedekat apa hubunganku dengan Rin dimata teman-temanku. Aku ingin lebih mengetahui tentang Rin. Yang membuatnya menarik adalah sifat cerianya. Sempat aku berfikir, “apa dia tidak pernah merasa sedih?”.
Aku dan Rin akrab sudah sejak lama. Mungkin karena sama-sama penyuka anime, karena yang aku tau perempuan jarang sekali yang menyukai anime.
Saat di kelas, dia duduk di bangku depanku. Jadi dengan jelas aku bisa memperhatikan dia. Ketika dia mulai melihat ke luar jendela, tandanya dia mulai merasa bosan dengan penjelasan dosen. Dia suka melihat ke bawah jika ada kelas yang jadwalnya jam olahraga. Sepertinya dia sangat menyukai pria yang pandai olahraga.
Mungkin seperti itu. Atau mungkin ada seseorang yang dia sukai dibawah sana. Aku tau aku hanya pria biasa yang tak mungkin dia sukai.
Dia gadis yang pendiam. Kesan pertama memang dia terlihat tidak bersahabat, namun semakin kesini justru dia lah yang paling memahamiku. Hatinya hangat. Dia gadis yang perhatian.
Dia gadis yang tidak pernah mengeluh. Dia sungguh adalah gadis yang sangat aku sayangi. Entah bagaimana aku mengatakannya. Tapi sepertinya dia hanya menganggapku sebagai kakak, atau mungkin hanya teman yang memiliki hobi sama.
Aku sering memberinya pocky, kesukaannya.
Aku pernah mengajarinya menggambar chara anime.
Aku pernah bermain basket dengannya.
Hal-hal seperti itulah caraku menunjukkan perhatian kecil kepadanya. Namun dia menganggapnya biasa.
Dia menganggap semua itu hanya bagian dari ‘saling berbagi’.
Aku ragu jika dia benar menyukaiku. Aku hanya sadar diri. Lagi pula dia tidak pernah menunjukkan bahwa dia menyukaiku lebih dari sekedar teman biasa.
Kau tau, Rin?
Aku menyayangimu.



Len.